Akita Inu (秋田犬, anjing akita) adalah salah satu dari anjing trah Jepang. Nama resmi jenis anjing ini adalah Akita Inu. Di luar tempat asalnya di Prefektur Akita, anjing berukuran besar ini disebut Akita Ken (juga berarti anjing akita). Jenis anjing ini tidak sama dengan American Akita。
Moyang Akita Inu adalah akita matagi yang dipakai untuk matagi (berburu rusa dan beruang). Pada zaman dulu, anjing berukuran besar tidak ada di Jepang. Akita matagi adalah anjing pemburu berukuran sedang untuk berburu beruang.
Pada zaman Edo, klan Satake menguasai Provinsi Dewa bagian timur (wilayah Akita). Sebelumnya klan Satake adalah penguasa Provinsi Hitachi namun wilayah kekuasaannya ditukar dengan Provinsi Dewa setelah berpihak ke Pasukan Barat yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara. Keshogunan Tokugawa memperlakukan klan Satake sebagai tozama daimyo yang kekuatan militernya sangat dibatasi.
Sekitar tahun 1630, klan Satake menganjurkan pengikutnya mengadakan adu anjing sebagai pelampiasan nafsu berperang. Klan Satake berintikan keluarga Satake Timur yang bermarkas di Istana Kubota. Keluarga klan Satake yang lain adalah Keluarga Barat, Keluarga Utara, dan Keluarga Selatan yang masing-masing berkedudukan di Ōtachi, Kakunodate, dan Yuzawa. Keluarga Barat yang berkedudukan di kawasan Ōtachi dikenal sebagai peternak anjing petarung hasil persilangan anjing matagi dan anjing lokal. Anjing yang mereka hasilkan disebut ōtachi-ken (anjing ōtachi).
Hingga zaman Meiji, tradisi adu anjing di Jepang tidak juga hilang. Peternak terus mengawinkan anjing dari lokal dengan anjing impor berukuran besar untuk menghasilkan anjing petarung. Sekitar tahun 1897, peternak anjing di Prefektur Akita mendatangkan Tosa Inu dari Prefektur Kochi yang dikenal sebagai anjing petarung. Tosa Inu disilangkan dengan anjing impor dari Barat sehingga tubuhnya semakin bertambah besar. Seusai Perang Sino-Jepang Pertama, orang Jepang yang pergi Sakhalin membawa pulang Sakhalin Husky dan Hokkaido Inu.
Adu anjing dilarang di Prefektur Akita sejak tahun 1908 karena dianggap merusak masyarakat. Penduduk begitu tenggelam dalam judi adu anjing sehingga pemerintah prefektur melarang adu anjing. Pelarangan adu anjing, sabung ayam, dan adu sapi di seluruh Jepang baru dilakukan Dinas Polisi Kekaisaran Jepang sejak 26 Juli 1916. Setelah adu anjing dilarang, peternak anjing dari Prefektur Akita mengalami masa suram. Anjing impor dari Barat menjadi lebih populer daripada anjing lokal. Berbagai jenis anjing campuran lahir dari persilangan dengan anjing impor dari Barat.
Pada zaman Taisho, kalangan terpelajar menganggap perlu untuk melestarikan Akita Inu. Kegiatan pelestarian dipimpin wali kota Ōtachi. Pada waktu itu, gerakan pelestarian tidak dilakukan hanya terhadap anjing lokal asal Akita, melainkan juga terhadap anjing-anjing lokal dari tempat lain yang mulai bercampur dengan anjing impor dari Barat.
Pada 1919, Pemerintah Jepang menguluarkan Undang-Undang Pelestarian Monumen Alam. Pemimpin gerakan pelestarian anjing Jepang adalah Shōzaburo Watase. Ia pergi ke kota Ōtachi untuk mempelajari kemungkinan anjing Prefektur Akita dijadikan monumen alam. Pada waktu itu, Watase tidak menganggapnya bisa dijadikan monumen alam. Pada tahun 1922, Shōzaburo Watase menerbitkan sebuah makalah tentang asal usul anjing Jepang, khususnya tentang Akita Inu.
Setelah bertambahnya minat terhadap perbaikan jenis anjing ini, Akita Inu mulai diternakkan oleh penggemar. Pada tahun 1927, wali kota Ōtachi mendirikan Perkumpulan Pelestarian Akita Inu. Pada tahun berikutnya, Perkumpulan Pelestarian Anjing Jepang didirikan di Tokyo dengan tujuan melestarikan Akita Inu, Hokkaido Inu, Shiba Inu, Kai Ken, dan Shikoku Ken.
Pada tahun 1932, harian Asahi Shimbun memuat berita tentang anjing jenis Akita Inu yang setia menunggu majikannya di Stasiun Ueno, Tokyo. Hachikō tidak tahu bahwa majikannya sudah meninggal dunia, dan terus menanti majikannya yang tidak kunjung pulang. Berkat kisah Hachikō, semakin banyak orang yang mengenal Akita Inu.
Kesulitan pangan di Jepang selama Perang Sino-Jepang hingga akhir Perang Dunia II menyebabkan anjing berukuran besar seperti Akita Inu berada dalam bahaya kepunahan. Jumlah Akita Inu berkurang drastis karena kurang makan dan dibunuh untuk diambil kulitnya. Anjing tidak diberi makan daging, melainkan hanya tepung dan sayuran sehingga sulit bereproduksi. Anak anjing yang lahir akhirnya mati karena kurang makan dan terkena canine distemper. Selain Anjing Gembala Jerman yang dipelihara militer untuk keperluan perang, anjing berukuran besar disita untuk dibunuh. Kulit anjing dipakai untuk keperluan seragam militer. Pecinta anjing berusaha menghindari peraturan dengan dengan mengawinkan anjing-anjing mereka dengan Anjing Gembala Jerman. Seusai Perang Dunia II, jumlah anjing jenis Akita Inu berkurang drastis, dan tersisa dalam tiga jenis berbeda: akita matagi, akita petarung, dan akita gembala.
Usaha pemulihan anjing trah Akita Inu dilakukan dari seekor anjing bernama Kongo-go asal keturunan Provinsi Dewa. Kongo-go memperlihatkan ciri-ciri Mastiff dan Anjing Gembala Jerman. Namun penggemar menyadari ciri-ciri yang dimiliki Kongo-go bukan sebagai ciri anjing trah Jepang yang benar. Oleh karena itu, peternak berusaha menghilangkan galur trah asing. Persilangan dilakukan dengan akita matagi dengan tujuan mengembalikan trah murni. Galur murni dari trah berukuran besar berhasil distabilkan hingga menjadi Akita Inu yang dikenal sekarang.
Hachikō (ハチ公, Hachikō) (10 November 1923-8 Maret 1935) adalah seekor anjing jantan jenis Akita Inu kelahiran Ōdate, Prefektur Akita. Ia terus dikenang sebagai lambang kesetiaan anjing terhadap majikan. Setelah majikannya meninggal, Hachikō terus menunggu majikannya yang tidak kunjung pulang di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Julukan baginya adalah Hachikō Anjing yang Setia (忠犬ハチ公, Chūken Hachikō?). Patung Hachikō di depan Stasiun Shibuya telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya. Sewaktu membuat janji untuk bertemu di Shibuya, orang sering berjanji untuk bertemu di depan patung Hachikō.
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saitō dari kota Ōdate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Ōdate, 14 Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai di Stasiun Ueno, Tokyo.
Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia. Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya.
Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Hachi dan John dititipkan kepada salah seorang kerabat Yae yang memiliki toko kimono di kawasan Nihonbashi. Namun cara Hachi meloncat-loncat menyambut kedatangan pembeli ternyata tidak disukai. Ia kembali dititipkan di rumah seorang kerabat Yae di Asakusa. Kali ini, kehadiran Hachi menimbulkan pertengkaran antara pemiliknya dan tetangga di Asakusa. Akibatnya, Hachi dititipkan ke rumah putri angkat Profesor Ueno di Setayaga. Namun Hachi suka bermain di ladang dan merusak tanaman sayur-sayuran.
Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.
Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari ("Kisah Anjing Tua yang Tercinta"). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu pula, akhiran kō (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachikō.
Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō. Setiap hari, Hachikō dibawa berkunjung ke studio milik Andō untuk berpose sebagai model. Andō berusaha mendahului laki-laki berumur yang mengaku sebagai orang yang dititipi Hachikō. Orang tersebut menjual kartu pos bergambar Hachikō untuk keuntungan pribadi. Pada bulan Januari 1934, Andō selesai menulis proposal untuk mendirikan patung Hachikō, dan proyek pengumpulan dana dimulai. Acara pengumpulan dana diadakan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar tiga ribu penonton hadir untuk melihat Hachikō.
Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin. Andō juga membuat patung lain Hachikō yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun.
Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachikō, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachikō biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.
Upacara perpisahan dengan Hachikō dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk janda almarhum Profesor Ueno, pasangan suami istri tukang kebun Kobayashi, dan penduduk setempat. Biksu dari Myōyū-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachikō berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachikō dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachikō diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo.
Pada 8 Juli 1935, patung Hachikō didirikan di kota kelahiran Hachikō di Ōdate. tepatnya di di depan Stasiun Ōdate. Patung tersebut dibuat serupa dengan patung Hachikō di Shibuya. Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachikō dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang. Judulnya adalah On o wasureruna (Balas Budi Jangan Dilupakan).
Pada tahun 1944, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, patung perunggu Hachikō ikut dilebur untuk keperluan perang. Patung pengganti yang sekarang berada di Shibuya adalah patung yang selesai dibuat bulan Agustus 1948. Patung tersebut merupakan karya pematung Takeshi Andō, anak laki-laki Teru Andō.
Pintu keluar Stasiun JR Shibuya yang berdekatan dengan patung Hachikō disebut Pintu Keluar Hachikō. Sewaktu didirikan kembali tahun 1948, patung Hachikō diletakkan di bagian tengah halaman stasiun menghadap ke utara. Namun setelah dilakukan proyek perluasan halaman stasiun pada bulan Mei 1989, patung Hachikō dipindah ke tempatnya yang sekarang dan menghadap ke timur.
Film Hachikō Monogatari karya sutradara Seijirō Kōyama mulai diputar di Jepang, Oktober 1987. Pada bulan berikutnya diresmikan patung Hachikō di kota kelahirannya, Ōdate. Monumen peringatan ulang tahun Hachikō ke-80 didirikan 12 Oktober 2003 di lokasi rumah kelahiran Hachikō di Ōdate. Sebuah drama spesial tentang Hachikō ditayangkan jaringan televisi Nippon Television pada tahun 2006. Drama sepanjang dua jam tersebut diberi judul Densetsu no Akitaken Hachi (Legenda Hachi si Anjing Akita).
Sumber : Wikipedia
No comments:
Post a Comment